LGBT Tumbuh Subur, Merambah Usia Sekolah
Usai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak permohonan uji materil Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang zina dan hubungan sejenis, lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT), kian menjadi sorotan masyarakat, terlebih jumlahnya yang kian bertambah.
-----------
INDOPOS.CO.ID - LGBT pun seolah menjadi tren, tidak terkecuali di Kota Tarakan. Meski saat ini keberadaan mereka tidak banyak diketahui. Hal itu diungkapkan Pengelola Program, Komisi Penanggulangan AIDS Tarakan, Roniansyah.
KPA Tarakan mengklasifikasikan waria berbeda dengan LGBT. Pelaku LGBT belum berani menampilkan identitas mereka secara terang-terangan kepada masyarakat luas.
Sehingga, untuk pengawasan, Roni sapaan akrabnya, mengakui harus berusaha lebih keras untuk menjalin komunikasi lebih mendalam ke komunitas-komunitas tersebut. Hal ini diperlukan, mengingat LGBT memiliki risiko paling besar terlular HIV/AIDS.
“Dari teman-teman yang masih hidden (LGBT) ini, kami upayakan lebih maksimallah untuk mendekati mereka. Dari mulai upaya persuasif, seperti waria kami yang datang ke salon aja sudah bisa tahu. Sedangkan teman-teman hidden ini perlu perlakuan lebih mendalam agar mereka open dengan kami,” tutur Roni.
Untuk itu, KPA Tarakan harus mengeluarkan trik khusus agar bisa mendekati pelaku LGBT. “Kami juga sudah melaksanakan program khusus gay, LSL (lelaki seks lelaki), dan lesbian untuk bisa berkumpul. Dengan begitu, KPA Tarakan mengetahui jumlahnya pelaku untuk mempermudah saat pengawasan dan pendampingan,” jelasnya.
Berdasarkan monitoring dan evaluasi, jumlah waria dan LGBT kian bertambah setiap tahunnya di Tarakan. Divisi Monitoring dan Evaluasi Lapangan pada KPA Tarakan Prabowo menjelaskan, dari hasil survei lapangan yang dilakukan lembaganya, faktor keluarga dan pergaulan mendominasi penyebab terjadinya penyimpangan orientasi seksual. Bowo, sapaannya, menyebutkan, LGBT di Tarakan saat ini paling banyak berasal dari kalangan remaja, dari mulai tingkat sekolah menengah pertama (SMP) hingga sekolah menengah atas (SMA).
“Untuk gay, waria dan LSL bukan hanya faktor ekonomi, tapi juga dari keluarga seperti broken home dan salah pergaulan. Karena anak sekarang lebih senang curhat ke teman daripada keluarga atau orang tua. Dari situ kecenderungannya bisa membuat mereka beralih orientasi seksnya, apalagi anak sekarang masa pubernya lebih cepat dari yang seharusnya. Bahkan SD dan SMP sudah tahu pacaran, kecenderungan ingin tahu dan coba-coba itulah yang membuat mereka terjerumus dan kecanduan,” ungkapnya.
Selain itu, faktor terbentuknya orientasi LGBT juga bisa dikarenakan karena psikologi bawaan, seperti trauma masa lalu. Seperti sering diperlakukan kasar oleh ayahnya sehingga membenci laki-laki. Lalu faktor lainnya juga yang sering disakiti oleh sang ibu dengan kekerasan verbal. Dari masa kecil itu yang dapat membekas dan menimbulkan trauma. Untuk saat ini KPA Tarakan, belum dapat mendeteksi spot-spot atau tempat berkumpul para pelaku LGBT, sebab mereka cenderung berpindah-pindah.
“Kalau untuk LSL, gay, dan lesbi masih susah, karena untuk kategori hotspot minimal harus ada 10 perkumpulan di situ. Saat ini mereka belum bisa dikatakan menetap, Karena kecenderungan berpindah-pindah tempat berkumpul. Berbeda dengan waria, yang sudah bisa kami petakan, terlebih LGBT ini masih pro dan kontra lagi pula stigma diskriminasinya masih tinggi,” katanya.
Bowo menjelaskan, rentan usia paling muda dari pelaku LGBT di Kota Tarakan ini, KPA Tarakan pernah menemukan usia 15 tahun sudah menjadi pelaku LGBT dan yang paling tua berusia 70 tahun yang merupakan waria. Namun, untuk waria urbannya cukup tinggi, sebab waria kerap berpindah dan tidak menetap, tergantung peluang bisnis yang mereka lihat di setiap daerah.
Dengan bisa memetakan tempat para pelaku LGBT ini, juga akan memudahkan KPA Tarakan, untuk melakukan pendampingan. Terlebih saat adanya laporan penderita HIV/AIDS atau ODHA yang berdasarkan laporan dari puskesmas dan rumah sakit umum. Baik untuk pengobatan, hingga bimbingan konseling kepada penderita.
“Saya melakukan pendampingan langsung kepada penderita kalau ditemukan kasus. Itu prosedur dari puskesmas, lalu ke rumah sakit umum dirujuk untuk pengobatan baru setelahnya nanti dirujuk ke KDS (kelompok dukungan sebaya). Dari situ kami lakukan pendampingan, contohnya pendampingan kepatuhan minum obat dan pencegahan penularannya. Jangan sampai dia menularkan kepada orang lain. Kami juga me-monitoring mereka untuk bisa menjaga stamina agar tetap fit, karena tenaga penderita tidak boleh diporsir kalau sudah positif HIV,” ungkapnya.
Dari hasil survei lapangan, ada fakta yang harus dikemukakan bahwa, para pelaku LGBT di Tarakan kurang memperhatikan kesehatan. Beberapa mengalami sakit yang fatal pun masih belum mau terbuka. Hal itu juga yang turut menjadi faktor pemicu meningkatnya angka penderita HIV/AIDS di Tarakan, sebab awal pintu masuk karena infeksi menular seksual (IMS) karena adanya perlukaan.
“Jadi asal mereka senang aja ya sudah. Kalau sudah fatal sakitnya itu kadang masih beli obat sembunyi-sembunyi, misalnya temannya kena sipilis sembuh minum obat ini, mereka cenderung mengikuti. Padahal, tiap orang itu kan berbeda kadar bakterinya, karena kalau melakukan pengobatan tanpa anjuran dokter, bukannya sembuh malah kebal penyakitnya,” bebernya.
Perlu diketahui, sampai saat ini jumlah penderita HIV/AIDS di Kota Tarakan telah berjumlah sekitar 600 orang, sejak ditemukan pengguna pertama pada 1997. Setiap tahun selalu mengalami peningkatan drastis, dan didominasi penderita dari usia 19 tahun hingga 30 tahun. Baik perempuan dan laki-laki kini angkanya seimbang.
“Sekarang kalangan profesi atau pekerjaan sebagai PNS, angkatan, kuli bangunan, pelajar, IRT, semua terdapat penderita dan setiap tahun mengalami peningkatan drastis. Rentan usianya rata-rata produktif, tapi sekarang cenderungnya ke IRT. Bisa dari suami bisa yang lebih sering ‘jajan’ di luar. Ya, bisa dikatakan Tarakan ini sudah little Las Vegas,” terangnya.
Ya, selain LGBT yang semakin menjamur di Bumi Paguntaka ini, yang tak kalah memprihatinkan pertumbuhan wanita penjajah seks tak langsung (WPSTL) yang sudah mulai merambah. Mulai dari ‘ayam sekolah’ dan ‘ayam kampus’. Bahkan, tidak hanya berdasarkan orientasi nominal uang, namun dengan diajak belanja dan dugem sudah juga sudah bisa di-booking.
“Kalau untuk wanita pekerja seks (WPS) itu ada dua jenis yaitu langsung dan tidak. Kalau yang langsung dari itu transaksi depan mata seperti di lokalisasi, kalau tidak langsung seperti di hotel, kafe, panti pijat, karaoke, mereka pertambahannya lebih besar sekitar 20 persen per tahun. Faktor pendukungnya, biasanya karena ekonomi itu paling tinggi pengaruhnya untuk WPS,” ungkapnya.
Selama ini pihaknya selalu melakukan pendampingan bagi ODHA, hanya saja hampir tidak ter-cover seluruhnya, mengingat jumlah penderita yang semakin bertambah, dan tidak seimbang dengan konselor yang ada di Tarakan.
“Kami selalu melakukan pendampingan bagi ODHA, berkoordinasi dengan pihak terkait. hanya saja jumlah kami ini terbatas. Tapi, kita tetap upayakan untuk menekan angka penderita HIV/AIDS di Tarakan, makanya sangat diperlukan untuk melakukan pengawasan langsung ke akar-akarnya,” ungkap Bowo.
Dengan maraknya LGBT yang berujung meningkatnya penderita HIV/AIDS, otomatis menambah titik kelam bagi kota ini. Belum lagi angka pelaku tindak pidana narkoba pada tahun 2017 yang kian meningkat. Tercatat kurang lebih 267 kasus yang sudah diungkap petugas BNN dan kepolisian. Dengan jumlah tersangka 344 orang dan barang bukti sebanyak 19.674,12 gram sabu-sabu. (tim/nri/lim/jpg)