newsare.net
INDOPOS.CO.ID - Sengketa kepemilikan lahan Bandara Sentani di Papua memanas lagi. Urusan ganti rugi pembebasan lahan sejak tahun 1956 itu tak kunjung selesai. Pemerintah kabarnya membayar ganti rugi dengan cara mencicil. “Pemerintah gantinya nyicil jadPembebasan Lahan Bandara Sentani Tak Kunjung Selesai, Pemilik Lapor Presiden
INDOPOS.CO.ID - Sengketa kepemilikan lahan Bandara Sentani di Papua memanas lagi. Urusan ganti rugi pembebasan lahan sejak tahun 1956 itu tak kunjung selesai. Pemerintah kabarnya membayar ganti rugi dengan cara mencicil. “Pemerintah gantinya nyicil jadi tidak kelar-kelar dan birokrasi mereka selalu rumit dari tahun ke tahun,” kata salah satu pemilik lahan, Beatriks Felle, saat bertemu dengan INDOPOS di kantor Ditjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan di Medan Merdeka, Jakarta, Senin (8/1). Beatriks yang memiliki lahan seluas 28,7 hektar itu terlihat gusar karena merasa seperti dilempar sana-sini saat datang di Bagian Hukum Ditjen Perhubungan Udara, Kementerian Perhubungan lantai 20. Dia bercerita ada 44 hektar total lahan Bandara Sentani yang belum dibayar. “Kalau total lahan Bandara Sentani ada 150 hektar lebih. Yang sudah dibayarkan termasuk yang dibayarkan tapi bermasalah ada 106 hektar,” kata Beatriks. Bermasalah, kata Beatriks, maksudnya adalah dibayarkan pemerintah tetapi tidak ada kejelasan harga per meternya. Beatriks mengatakan, menurut data BPN yang sudah melakukan pengukuran, harga tanah per meter di Bandara Sentani mencapai Rp 2 juta. “Kami dapat informasi per bulan pemasukan Bandara Sentani bisa Rp50 miliar. Masa tidak ada perjanjian sewa tanah atau ganti rugi tanah untuk uang sebesar ini,” katanya. Sudah hampir 12 tahun, dia bersama rekan-rekannya mengurus masalah tanah Bandara Sentani yang tak kunjung selesai. Saat ini, dia di Jakarta bersama beberapa tim dan kepala adat menunggu balasan dari Presiden Jokowi melalui staf khusus Presiden Lennis Kogoya. “Dalam seminggu ini katanya akan ada jawaban. Terus terang rumit sekali birokrasinya,” pungkasnya. Berdasarkan keputusan adat, mereka mematok harga per meter sekitar Rp20 juta. Jumlah itu merupakan kesepakatan bersama dan diharapkan ada respon dari pemerintah. Dia berharap masalah selesai sebelum PON 2020 di Papua nanti. “Jika jawaban presiden baik, kami tidak unjuk rasa. Kalau gak ada respon Presiden, kami akan unjuk rasa akhir bulan ini. Sekitar 200 orang dan kami akan dapat dukungan dari mahasiswa Papua disini. Orasi damai dengan tari-tarian,” tuturnya. (vit) Read more