newsare.net
INDOPOS.CO.ID - Surat kuasa dan salinan putusan masih menjadi ‘lahan basah’ korupsi oknum aparatur peradilan. Temuan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (Mappi) Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), dua jenis administrasi perkSalinan Putusan ‘Dijual’ Rp 1 Juta
INDOPOS.CO.ID - Surat kuasa dan salinan putusan masih menjadi ‘lahan basah’ korupsi oknum aparatur peradilan. Temuan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (Mappi) Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), dua jenis administrasi perkara tersebut kerap ‘dijual’ di luar ketentuan. Bahkan, paling tinggi ada yang mencapai Rp 100 ribu untuk surat kuasa dan Rp 1 juta salinan putusan. Peneliti Mappi FHUI Siska Trisia mengungkapkan, temuan itu merupakan hasil survei yang dilakukan di Pengadilan Negeri (PN) Medan, PN Serang, PN Bandung, PN Jogjakarta, PN Malang dan lima wilayah PN di Jakarta pada 2017 lalu. Di setiap PN, mereka mewawancarai 404 narasumber atau responden yang berlatar belakang mahasiswa, advokat, dan masyarakat. ”Survei dan wawancara mendalam kepada pihak yang memiliki pengalaman dimintakan ‘pungutan liar (pungli)’ di pengadilan,” ungkap Siska saat diskusi refleksi wajah peradilan Indonesia tahun 2017 di kawasan Cikini, Jakarta, Minggu (7/1). Dari PN yang disurvei, pungli salinan putusan di pengadilan wilayah Jakarta merupakan paling tinggi yakni, Rp 500 ribu-Rp 1 juta. Total 63 persen responden yang disurvei di wilayah pengadilan ibu kota itu mengaku pernah dimintai pungutan dengan nominal tersebut. Padahal, sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53/2008 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), biaya penyerasahan turunan atau salinan putusan perlembar dipatok Rp 300. Sedangkan pendaftaran surat kuasa Rp 5.000. Siska menyatakan, responden mengaku dimintai biaya tambahan di luar ketentuan itu oleh oknum panitera dan panitera pengganti. Modusnya bermacam-macam mulai dari pengganti uang ‘lelah’ hingga tidak ada kembalian. Bila tidak ada ‘uang pelicin’, mayoritas layanan pengurusan administrasi perkara tersebut bakal diulur-ulur. ”Pembayaran itu tanpa ada bukti bayar,” terangnya. Hanya, survei tersebut belum menemukan kemana saja uang haram itu mengalir. Pengguna layanan peradilan yang diwawancarai mengaku tidak tahu menahu lebih jauh soal struktur praktik korupsi itu. Namun, Siska menduga pungli itu dilakukan secara terkoordinir dengan melibatkan pimpinan PN. ”Karena tidak mungkin pimpinan tidak tahu kalau ada praktik (pungli, Red) seperti itu,” ujarnya. Masih maraknya perilaku koruptif di lingkungan peradilan itu menunjukan bahwa pemantauan dan pengawasan Mahkamah Agung (MA) masih lemah. MA, kata dia, seharusnya bisa mengidentifikasi dan menganalis gejala-gejala penyimpangan itu. ”MA juga dapat meminta laporan pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugas bawahannya,” tutur perempuan berjilbab itu. Secara rinci hasil temuan pungli di PN enam kota yang dilakukan Mappi FHUI 2017, rata-rata biaya pendaftaran surat kuasa untuk PN Medan berkisar Rp 50 ribu-Rp 100 ribu (71 persen), PN Serang Rp 100 ribu (70 persen), PN Bandung Rp 10 ribu-Rp 50 ribu (65 persen), PN Jogjakarta Rp 50 ribu-Rp 100 ribu (60 persen), PN Malang Rp 50 ribu-Rp 100 ribu (60 persen), lima PN di Jakarta Rp 50 ribu-Rp 100 ribu (57 persen). Sementara rata-rata ‘harga’ salinan putusan untuk PN Medan berkisar Rp 300 ribu-Rp 500 ribu (57 persen), PN Serang > Rp 500 ribu (70 persen), PN Bandung Rp 50 ribu-Rp 100 ribu (35 persen), PN Jogjakarta Rp 300 ribu-Rp 500 ribu (42 persen), PN Malang Rp 300 ribu-Rp 500 ribu (42 persen), lima PN di Jakarta Rp 500 ribu-Rp 1 juta (63 persen) Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat (Humas) MA Abdullah belum mau memberikan tanggapan terkait temuan tersebut. Saat dikonfirmasi wartawan koran ini, Abdullah tidak menjawab. Ini termasuk soal sistem whistleblowing yang berkaitan dengan persoalan pungli itu. Pada 2016, MA menerbitkan Peraturan MA (Perma) tentang pedoman penangan pengaduan. (tyo) Read more